Artikel ini merupakan terjemahan dari “How Khalida Popal helped rescue women athletes in Afghanistan” – Jonathan Selvaraj, ESPN.
“Ketika pemerintah Afghanistan memutuskan menyerah dan Taliban ambil kuasa atas Kabul, saya punya pilihan untuk duduk, menangis.” kata Khalida Popal. “Atau mengunggah postingan di sosial media tentang betapa khawatir, betapa iba saya akan kejadian di negara asal saya itu sembari sembunyikan rasa lega sebab saya sendiri ada di luar Afghanistan.”
Namun, ia memutuskan untuk melawan.
“Menahan luapan emosi adalah satu pekerjaan berat yang saya lewati. Ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Saya bukan orang berkuasa yang mampu mengirim pesawat ke sana untuk menjemput kawan setim. Akan tetapi, saya punya kekuatan lain – suara. Suara saya kuat.”
Maka bersuaralah ia dengan penuh determinasi. Popal -pionir sepakbola wanita di Afghanistan dan kapten pertama timnas wanita negara di Asia Barat tersebut – dan sekelompok grup kecil, berisi pelatih-pemain wanita, telah mengevakuasi kompatriot atlet wanita dan keluarganya dari sana, dimana pemerintah Taliban secara historis tak pernah mengizinkan wanita bermain olahraga. Popal merinci, “Kami telah membawa 80 orang keluar Afghanistan, termasuk pemain dan keluarganya. Mereka menuju Australia.”
Lewat beberapa percakapan telepon dalam interval dua hari, Popal dari apartemennya di Denmark mengisahkan pada ESPN upaya evakuasi itu, kefrustrasiannya serta harapan & ketakutan akan apa yang terjadi esok hari.
Baca Juga: Cerita Morten Thorsby: Ganti Nomor Punggung Karena Iklim Dunia
Walaupun telah meninggalkan tanah asalnya ke Denmark, setelah ancaman pembunuhan satu dekade silam, ia masih terlibat dalam perkembangan olahraga di Afghanistan. Ia memandang tanggung jawab yang diembannya saat ini merupakan hal penting dalam hidupnya. Popal, 34 tahun, adalah anggota penasehat dan pengacara FIFPRO yang terhubung dengan 6 negara, termasuk Australia, Amerika Serikat dan Britania Raya, yang menjadi destinasi evakuasi bagi atlet sekaligus keluarganya.
“Grup kecil kami bekerja siang dan malam untuk memastikan semua anggota Tim Nasional kami dan keluarganya mampu keluar dari Afghanistan,” bebernya. “Kami sedikit tidur atau makan, kami berhenti bekerja untuk mengurus visa, izin kerja dan menjemput mereka di bandara.”
“Sangat sulit dan juga kompleks untuk berkomunikasi dari jauh, untuk memandu mereka, menjaga semangat mereka. Semua anggota tim punya perannya masing-masing. Peran saya itu meraih orang-orang agar mau membantu kami, para pesepakbola perempuan dari Afghanistan. Sekaligus tetap terhubung dengan pemain-pemain itu. Menjanjikan mereka harapan. Jangan menyerah. Jangan pernah kehilangan harapan.”
Suaranya bergetar pada bagian-bagian tertentu namun Popal mampu pertahankan ketenangan dan terus bicara.
“Hati saya seperti mau remuk dan saya sendiri sangat ingin menyerah…namun ketika mereka semua keluar, saya akan menitikkan airmata untuk negara itu dan seluruh rakyat yang berjuang demi kedamaian, demi Afghanistan yang lebih baik.” lanjutnya.
Hal pertama, ketika mendengar kudeta kilat dilancarkan Taliban pada ibu kota, yang Popal lakukan menelepon rekan timnasnya yang berada di dalam negeri.
“Saya memastikan keselamatan mereka,” kenang Popal. “Dan mereka baik-baik saja sekaligus hancur. Mereka berkata berulang-ulang ‘semua sudah berakhir’. Pada saat itu saya tahu bahwa saya harus berbuat sesuatu.”
Ia sontak menyarankan kawan-kawannya untuk membakar seragam mereka, simbol kebanggaan Timnas Afghanistan namun sekarang dapat jadi bukti yang memberatkan posisi mereka. Kemudian, Popal menjalin sambungan-sambungan telepon lain untuk menutupi apa yang tidak ia miliki: sumber daya finansial. Dengan koneksi yang ia bangun sepanjang karier sepak bolanya, Popal melambaikan tangan, meminta bantuan.
“Saya mulai berkomunikasi pada kenalan di FIFPRO,” ia menyebut nama organisasi yang menaungi 65 ribu pesepakbola seluruh dunia. “Saya tahu mereka harus ditolong untuk bisa keluar sementara saya tidak tahu pendekatan yang tepat atau kemana jalan paling memungkinkan. Lalu, saya hanya bilang ‘Kawan-kawan saya terjebak di dalam’. Rupanya, hanya itu yang dibutuhkan orang untuk bergerak membantu saya.”
Selain FIFPRO, Popal juga mengontak asosiasi-asosiasi lain, termasuk mantan pesepak bola wanita Amerika Serikat Kelly Lindsey. Ada yang menghubungkan ke pemerintah, menyiapkan izin kerja dan detil-detil yang diperlukan. Ia sendiri kembali berkoordinasi dengan kawan-kawan di Afghanistan.
Baca Juga: Konfrontasi Dalam Satu Seragam: Antara Marcao dan Kerem Aktürkoğlu
“Saya seperti pelatih. Menyampaikan instruksi dari pinggir lapangan,” jelasnya. “Mengirim pesan pada dan dari mereka. Butuh kekuatan untuk menjaga harapan mereka tetap utuh, tetap saling terhubung dan membantu satu sama lain. Dengan dukungan pemerintah Australia serta Canada, dan beberapa orang dari Amerika Serikat, kami berhasil mengevakuasi beberapa orang keluar.”
Hampir seminggu, Popal bersiaga penuh, “Tiga malam sampai mereka berhasil melewati bandara Kabul termasuk hari-hari paling berat dalam hidup saya. Saya duduk bersandar pada tembok, komputer menyala dan baterai handphone selalu terisi. Saya menelepon orang, mengirim pesan suara, merampungkan visa. Seperti gelandang tengah atau si nomor 10. Tetap berkomunikasi dengan mereka yang terjebak dan tim luar yang mendukung upaya ini.”
“Kami bekerja siang-malam. Menggelar temu darurat pukul 4 atau 5 pagi. Jarang ada sela untuk sekadar tidur. Bahkan ketika ada kesempatan 1 jam, ketika mata terpejam, saya merasa handphone bergetar dan sesuatu mungkin telah terjadi pada kawan-kawan saya.” lukis perempuan 34 tahun itu.
Pernah menjadi seorang kapten, Popal selayaknya tahu cara menjaga kepala tetap dingin bahkan ketika keadaan silih berganti merintangi.
“Ada dua malam saat saya merasa para pemain berada dalam situasi hidup-mati,” kata Poppal. “Begitu banyak orang Taliban di titik-titik luar bandara. Untuk melewatinya satu per satu adalah mimpi buruk. Pada satu titik pengecekan tertentu, mereka tak segan menghajar orang yang diperiksa. Cedera, pendarahan, suara letupan senjata, kemudian orang-orang yang tak sadarkan diri. Saya masih terhubung dengan mereka, mendengar itu semua. Para gadis ini juga ketakutan. Mereka tidak yakin apa mampu melewati itu. Saya pun tidak yakin mereka mampu melewati itu,”
Baca Juga: Drawing Liga Champion 2021/22: Atleti, Milan, The Kop, Porto Berjejalan; Barca Sua Bayern
Ternyata kala itu berbarengan dengan sebuah ledakan bom di bandara Kabul, di mana ratusan orang berlomba mencapai titik evakuasi termasuk kawan-kawan pesepak bola wanita Afghanistan. Beberapa jam kemudian Popal dapat menghirup udara segar seiring kabar keselamatan mereka. Namun, ia tak menunjukkan reaksi berlebihan saat itu sebab proses evakuasi belumlah purna.
“Beberapa gadis berusia 16 atau 17,” terangnya. “Mereka tak bersama anggota keluarganya dan masih belum yakin apakah bisa benar-benar selamat. Saya bisa merasakan lilitan di dalam perut sendiri, ikut tegang selama mendampinginya dan bisa saja kehilangan mereka. Namun saya mencoba tak menunjukkan itu saat berbicara.”
“Saya coba suntikkan energi positif dan berkata, ‘Kita adalah tim sepak bola, dan ini semacam pertandingan. Kita akan menang. Ini adalah babak final, dan kemenangan bakal menghantarkan kita piala. Piala itu ada di gerbang, batas dari Afghanistan. Kita akan keluar dari Afghanistan. Begitu cara saya memotivasi mereka.”
Tidak mudah. Setelah rentetan kabar simpang-siur dan perubahan signifikan yang bergulir cepat, dapat dipahami jika moral mereka berada di titik terendah.
“Banyak dari mereka yang menangis, atau berkata ‘Saya lelah. Tubuhku tidak bisa bergerak lagi. Sakit. Saya menderita karena ini. Tentara telah memukuli saya.” Tapi itu tidak berhenti di situ sebab kemudian mereka bilang ‘Saya tidak akan menyerah. Saya akan tetap melangkah.’ Itu juga yang saya katakan berulang-ulang pada mereka. Tak peduli apapun terjadi, kita akan melangkah. Ini satu-satunya kesempatan menuju kebebasan, menuju hidup terhormat.” kenang Poppal.
Baca Juga: Chelsea Klub Terbaik Eropa Tahun 2021
Hal paling mengharukan baginya adalah daya juang serta kekompakan kawan-kawannya sebagai unit. Popal menuturkan jika mereka berkeras tak mau meninggalkan, mengorbankan seorang pun. Bahkan jika seorang di antara mereka tumbang, yang lain akan memapah tubuhnya sampai ke tujuan. Kerja sama dan saling percaya.
Di balik ketangguhan itu, melihatnya kembali, dirinya sendiri terkejut jika ia mampu berupaya se-spartan itu.
“Jujur saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bagaimana menyelamatkan seseorang, cara terbaik untuk melakukannya, untuk saling menjaga semangat satu sama lain. Namun, satu hal yang saya pelajari dari sepak bola ialah betapa penting untuk tetap bergerak sebagai tim dan berjuang bersama. Mempertahankan sikap positif, tidak menyerah, terutama ketika mereka (kawan-kawan Popal) masih berada di tengah daerah konflik.”
Popal mungkin belajar dari apa yang ia alami ketika meninggalkan Afghanistan sedekade silam. Ia pernah dapatkan ancaman pembunuhan setelah berani berbicara tentang pelecehan seksual pada anggota timnas wanita. Juga pada 2018, dimana Popal mengadvokasi evakuasi atas kasus serupa. Kali ini, situasi dan kuantitas “pelarian”-nya ada pada skala yang lain.
“Saat saya melarikan diri sendiri, saya merasakan ketakutan itu dari mata kepala sendiri. Pada 2018, komunitas internasional turut melindungi tindakan kami. Sekarang lebih berbahaya lagi sebab Taliban punya kuasa yang besar dan mereka juga menembaki orang. Saya tak punya kontrol di luar sana. Talibanlah yang memiliki senjata. Mereka merebut telepon dari para pemain. Di Afghanistan, pesepak bola wanita merupakan sesuatu yang revolusioner, mudah dikenali dan rawan untuk dijadikan target.”
Baca Juga: Botol Terbang dan Intervensi Penonton Tunda Marseille-Nice
Popal dan grup kecilnya kerjakan banyak detil di perjalanannya. Lantas, ia menemukan minimnya dukungan organisasi olahraga berskala masif seperti FIFA dan International Olympic Committee (IOC).
“Kami (Popal dan timnya) bukan siapa-siapa. Saya sendiri hanya pesepak bola. Tidak punya pengaruh apapun dalam pemerintahan,” tutur Popal. “Kelly (Lindsey) seorang pelatih. Kami tak memiliki kuasa lebih di pemerintahan namun pada praktiknya dapat menyumbangkan sesuatu bersama-sama. Yang mengecewakan adalah kenyataan bahwa FIFA, IOC, federasi-federasi sepak bola besar tidak mengulurkan tangannya dari awal; mereka baru bertindak setelah mendapatkan tekanan dari media setelah cukup bilang ‘turut mengawasi keadaan’. Mereka tahu hidup pemain dalam bahaya dan tidak berbuat apa-apa.”
“Saya sekuat mungkin mencari pihak yang sudi membantu dan itu terbatas karena situasi kian genting. Tapi mau bagaimana lagi sebab orang-orang yang memiliki kekuasaan dan koneksi lamban bereaksi. Mereka hanya merilis statemen. Kalau saja mereka membantu kami sejak mula dengan kekuasaan dan koneksi mereka, proses evakuasi ini akan lebih terbantu.”
Terlepas semua yang telah disumbangnya, masih ada belenggu di hati Popal tentang nasib-nasib mereka yang belum ikut terangkut. Ada 4 ribu wanita yang terdaftar sebagai pesepak bola. Selain tim nasional, mereka bergabung di klub-klub dari beragam provinsi. Jumlah itu berkembang pesat sejak Popal mengawali kariernya, yang hanya mencatat 5 orang saja. Untuk saat ini, dengan riak politik yang tak tenang, perkembangan sepak bola wanita Afghanistan mandek sejenak.
“Saya begitu bangga dengan anggota tim yang telah sampai di Australia. Mereka adalah manusia terkuat yang pernah saya temui. Mereka adalah wanita tangguh dari Afghanistan, petarung hidup. Melewati begitu banyak derita tapi tak sudi menyerah.”
Bagi Popal dan kawan-kawan pesepak bola wanita Afghanistan, hari-hari mereka adalah pertandingan di mana trofinya berarti kemerdekaan atas apa yang mereka percayai.
Rakaisa Langit
Facebook
***