AnalisBola.com – Di tengah mekarnya hegemoni pressing dan garis pertahanan tinggi yang menuntut fisik atlet berada pada standar lebih tinggi lagi karena harus berlari lebih cepat, lebih banyak, fenomena kombinasi pilar tua dan tunas muda rasanya layak mendapat perhatian.
Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Zlatan Ibrahimovic, Robert Lewandowski silih berganti menguasai portal pemberitaan olahraga ini. Seakan-akan belum berterima jika Kylian Mbappe, Takefusa Kubo, Erling Haaland dan Phil Foden telah siap untuk disinari lampu sorot lebih.
Zaman memang mengalir, begitu pula sepakbola. Meski bola masih saja bundar seperti kala Lev Yashin dan Alfredo di Stefano mengenakan celana pendek mereka di foto hitam putih itu. Dan perbandingan berapa rentang waktu bagi seorang pesepakbola, kiranya menjadi lebih panjang di masa mendatang.
Baca juga: El Mundo Kembali Mengusik Kenyamanan Messi dan Barcelona
Di generasi sebelumnya, barangkali telah muncul sosok-sosok penerjemah pepatah “umur hanyalah angka”. Dino Zoff mengkapteni Italia sebagai juara dunia di usia senja. Begitu pula Marcos Cafu. Atau aksi Zidane, Makelele, Vieira dan Lili Thuram dalam balutan biru Prancis pada Jerman 2006. Lothar Matthaus, Viktor Onopko serta Rafa Marquez.
Perihal bermekarannya pesepakbola di usia muda sejak dulu pun sudah terjadi. Walau harus diakui kini rekor-rekor debut muda selalu ditulis ulang gara-gara bocah dewasa macam Ansu Fati atau Smith-Rowe-nya Arsenal.
Di milenium lalu, nama Paolo Maldini, Gigi Buffon dan Steven Gerrard telah menonjol sedari usia belia. Yang juga populer dalam ingatan saya ketika Alex Ferguson memanen tiga gelar bersama Manchester United di ’99 bersama Neville bersaudara, David Beckham, Ryan Giggs, Nicky Butt dan Paul Scholes.
Baca juga: Berilah Andrea Pirlo Waktu untuk Membuktikan Kualitasnya
Kariernya barangkali tak mesti selalu seperti Messi atau Gerrard yang meniti tangga dari akademi klub, kemudian harum dan jadi legenda di situ. Jangan lupa kisah Jamie Vardy atau Michael Antonio dari kasta non-liga Inggris. Terang redup yang fluktuatif dalam ukuran umur seperti terjadi pada Fernando Torres, Antonio di Natale, Stephen Ireland serta Jason Koumas. Pun godaan gelimang gemerlap bintang macam Adrian Mutu dan Eric Djemba-Djemba untuk ilustrasi.
Jika biasa-biasa saja dan musti menerima berada di divisi rendah, tidak menutup kemungkinan menjadi pesepakbola adalah paruh waktu. Seperti para pemain divisi 4 Spanyol yang di momen lain berperan pula sebagai penjaga gudang, teller bank atau pramusaji. Talenta, kesempatan, disiplin dan keberuntungan barangkali berpagut satu sama lain.
Baca juga: Schalke 04 vs Bayern Muenchen: Die Roten Semakin Kokok di Puncak
Begitu pun di kolam domestik. Mencuatnya prestasi tim muda Indonesia di kancah Asia membuktikan jika anak-anak negeri ini sama baiknya dengan raksasa benua kuning lain. Pemain veterannya juga masih saja dapat tempat macam the evergreen Ismed Sofyan, Toni Sucipto, atau, beberapa tahun ke belakang, Christian Gonzales. Jika cukup tampan atau hoki, minimal diajak kolaborasi channel YouTube dan berkesempatan lebih memacari selebgram lah ya.
Rakaisa Langit
Facebook
***
Ingin menjadi penulis di AnalisBola.com, Silakan hubungi kami melalui email: analisbolacom@gmail.com